Search

Hi! It's me Wana
Nice to see you..

I'm Wana. An INTP-T woman. I'm often thoroughly engaged in my own thoughts. I usually appear to others to be offbeat and unconventional. People may think i am a stereotypical “nerd” who may be shy or withdrawn around people i don’t know well. However, i become talkative and enthusiastic when i meet someone who shares my niche interests.

Nikah dan patriaki

Nulis ini dalam waktu yang sebentar. Memutuskan untuk menulisnya butuh waktu yang lama, karena apa yang kita sampaikan nggak selalu selaras dengan yang orang lain pahami. So before you make a claim, i want to make a disclaimer haha. "Aku nggak pernah mempermasalahkan tentang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. Itu adalah pekerjaan yang sangat mulia dan tidak mudah".

I'm writing this based on my perspective, which can change and develope over time.

***

"Perempuan itu tugasnya dapur, sumur  dan kasur" adalah kalimat terhorror yang pernah aku dengar setelah "perempuan pakai perasaan, laki-laki pakai logika"

Sebagai seorang perempuan yang hidup dimana laki-laki selalu menjadi otoritas utama alias patriaki aku cukup sering merasa tersudutkan oleh ketentuan-ketentuan aneh yang  ditujukan kepada perempuan. 

Aku beruntung dibesarkan oleh keluarga yang cenderung setara dalam mendidik anak-anaknya. Kedua orangtuaku tidak pernah secara konservatif membeda-bedakan mana pekerjaan laki-laki dan perempuan. Terkecuali untuk pekerjaan berat yang memang tidak dapat aku lakukan sebagai seorang perempuan. Pekerjaan rumah tangga tidak hanya dibebankan kepada anak perempuan. Saat kami kecil, salah seorang dari saudara laki-lakiku bahkan sangat gemar membantu ibu menyiapkan hidangan makanan. Sampai saat ini Bapak pun ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah.

Jadi saat kebanyakan orang mengatakan bahwa "suami idaman adalah yang mau membantu istri di dapur". Aku tidak menemukan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Alih alih menyetujui, aku malah merasa miris. Semakin banyaknya kutipan itu beredar, malah menyadarkanku jika urusan dapur mutlak keharusan isteri maka konsepsi membagi peran dalam kehidupan berumah tangga sampai saat ini masih dipandang sangat sempit.

Sejak kecil kita terlalu mudah mengkotak-kotakkan setiap kepribadian kepada stereotype yang sudah umum dikenal. Kebanyakan dari kita selalu membatasi imajinasi anak. Seorang anak perempuan selau ditekankan untuk hanya memainkan permainan yang bersifat "sangat feminim", kebanyakan didominasi dengan keindahan fisik, pengasuhan dan peralatan rumah tangga. Sementara itu permainan anak laki laki dikaitkan dengan kekerasan atau persaingan yang memberikan kesan sangat maskulin.

Jadi nggak heran kalau pemahaman tentang peran lawan jenis masih sangat kurang. Laki laki selalu ditekankan untuk menjadi sosok yang maskulin dan  mendominasi. Alhasil untuk beberapa pribadi tidak mampu menyesuaikan standar sesuai "kelelakiannya" langsung dicap menyimpang.  Padahal konteksnya masih hal sederhana seperti menyukai warna pink atau menangis saat merasa bersedih.

Pada masa dewasa ini makin banyak pula teori pengkotak-kotakan yang aku temui. 

"Perempuan pakai perasaan"

"Perempuan tidak perlu sekolah tinggi tinggi karena kodratnya adalah dapur"

"Perempuan tidak perlu sekolah tinggi, nanti laki-laki minder"

"Perempuan harus melayani laki-laki setiap saat"

"Perempuan harus nikah sebelum 25th"

Semua ketentuan diatas menyudutkan perempuan. Menjadikan penilaian pada perempuan merata. Lalu bagaimana jika pada saat berkeluarga semua tatanan keluarga hanya didominasi oleh pihak laki-laki? Bagaimana jika segala keputusan hanya boleh ditetapkan laki-laki? Mungkin akan ada orang-orang yang menganggap aku berlebihan. Tapi dalam banyak kasus sering kali pihak suami menomorsatukan dominasi dirinya di dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang mereka membuat kebebasan perempuan tereksploitasi. 

Pernikahan nyatanya adalah tempat untuk saling menghargai satu sama lain, bukan tentang "lu harus melayani gue sepenuhnya", bukan siapa milik siapa, bukan tentang "lu pokoknya harus nurut terus sama gue", bukan tempat dimana salah satu pihak mengontrol penuh kebebasan pihak lain, melainkan keduanya harus berkerja sama. Si perempuan bisa salah, begitu pula sebaliknya.

Melihat tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga membuktikan bahwa pada kenyataannya patriaki memang benar ada dan nyata. Bahkan terdapat  realitas dalam sosial yang mengatakan bahwa KDRT  "boleh saja" dilakukan jika isteri tidak menuruti perintah suami. Gila nggak tuh? Padahal segala kasus kekerasan adalah melanggar hak asasi manusia.

Selama ini kebanyakan orang selalu beranggapan bahwa KDRT ranah pribadi dari rumah tangga itu sendiri, siapa sangka masalah pribadi tersebut bisa menjadi kecenderungan masyarakat untuk semakin membenarkan budaya patriaki.  

Kebanyanyakan kasus kekerasan yang dialami perempuan adalah KDRT. Tentu aja nggak semua kasus KDRT yang terungkap, beberapa penyebabnya adalah ketidakberdayaan wanita dikarenakan tidak memiliki penghasilan, tidak mau membuka aib keluarga, serta diancam oleh pelaku kekerasan itu sendiri.

Sayangnya hampir seperti kasus pelecehan seksual yang kerap kali menyalahkan cara berpakaian wanita, masih banyak masyarakat yang suka beranggapan KDRT terjadi karena perempuan  "tidak melayani suami" dengan becus. Kebanyakan orang merasa hal ini tidak perlu dipersoalkan karena  stigma "kodrat perempuan adalah dibawah laki-laki" masih bertebaran. 

Jadi tidak salah ketika R.A Kartini beranggapan bahwa musuh sebenarnya adalah sistem sosial masyarakat yang membuat wanita menjadi tersudutkan. Berdasakan Jurnal dari Ade Irma Sakina adanya KDRT, pelecehan seksual, semakin tingginya angka pernikahan dini, dan kasus  perceraian terjadi karena sistem budaya yang memperolehkan hal itu untuk terjadi serta kurang kokohnya sistem penegakan hukum di suatu negara.


Komentar

  1. Saya mencintai tulisan anda. Tetap berkarya, dan saya selalu menanti untuk banyak tulisan indah lainnya dari anda.

    BalasHapus

Posting Komentar