Search

Hi! It's me Wana
Nice to see you..

I'm Wana. An INTP-T woman. I'm often thoroughly engaged in my own thoughts. I usually appear to others to be offbeat and unconventional. People may think i am a stereotypical “nerd” who may be shy or withdrawn around people i don’t know well. However, i become talkative and enthusiastic when i meet someone who shares my niche interests.

Mahesa di Mata Naima


https://drive.google.com/uc?export=view&id=1XlCgCQrELLp4Wmt9JMAI2UBHYFu9GOjr


Disclaimer : Jadi ceritanya aku ikutan lomba nulis cerpen waktu awal awal covid dulu. Tentu saja kalah, Hehe. Namun, biar blog ini menjadi tempat singgahnya.

“Segala dipersulit, tinggal acc apa susahnya” Bisik seseorang yang sedang berdiri di belakangku.

Saat ini aku sedang berada di dalam ruangan kepala jurusan yang kebetulan adalah dosen pembimbing skripsiku. Di dalam ruangan yang tidak begitu luas ini aku sedang menunggu antrian untuk melakukan bimbingan jurnal sebagai syarat untuk mendapatkan transkrip nilai akhir.

“Entah apa yang diinginkan Professor ini, gue udah revisi berkali-kali tetap aja nggak ada yang benar di mata doi” sambungnya.

Aku tersenyum kecil.

Lucu. Hampir empat tahun tahun kami berada di dalam satu naungan jurusan yang sama, aku tidak pernah berbicara sekalipun dengannya. Boro-boro saling berbicara, saling melemparkan senyuman saja kami tidak pernah. Dini, gadis yang berdiri di belakangku ini adalah mahasiswa tingkat akhir yang cukup terkenal karena keaktifannya sebagai anggota himpunan mahasiswa di jurusan Pendidikan Kimia. Selain itu, parasnya yang cantik juga menjadi salah satu penyebab ia sering dibicarakan oleh teman-temanku.

Dini ini jelas berbanding terbalik denganku yang merupakan bagian dari mahasiswi kupu- kupu (kuliah pulang – kuliah pulang).

“Gue nggak ada masalah sih. Selama ini yang beliau revisi memang bagian-bagian yang perlu diperbaiki” Jawabku sambil tersenyum singkat.

Ia terdiam beberapa saat....“Lo Naila, yang kemaren  cumlaude itu kan?” 

“Naima”

sumacumlaude

“...pantes” gumamnya

Kita terlalu sering membaca atau mendengar keluhan mahasiswa tentang dosen pembimbing yang mempersulit tugas akhir mereka. Kemudian menempatkan dosen sebagai tersangka penyebab tugas akhir mereka tidak selesai tepat waktu. Mungkin ada beberapa dosen yang demikian, namun aku belum pernah bertemu langsung dengan dosen yang berkarakter seperti itu.

Pria paruh baya yang sedang duduk sembari memeriksa hasil kerja mahasiswanya ini pun tidak dapat dikategorikan sebagai dosen yang sengaja memperlambat kelulusan mahasiswanya. Sebenarnya bukan kali ini saja aku mendengar mahasiswa mengeluhkan banyaknya tulisan mereka yang direvisi beliau, karena itu aku merasa harus menyampaikan bahwa yang sering mereka keluhkan itu adalah kesalahan mereka sendiri.

“Metode penilitian, catatan kaki hingga tulisan kamu saja masih banyak yang berantakan, maka jangan tanya kapan saya bisa acc”

See?

“Mohon maaf Prof... dan terimakasih bimbingannya” tutup mahasiswa yang baru saja melakukan bimbingan dengan Professor Arif.

Senyumanku mengembang saat menyadari bahwa sebentar lagi adalah giliranku untuk melakukan bimbingan. Sayangnya senyuman yang cukup indah ini tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja seseorang yang entah dari mana datangnya menghalangi langkahku dan berkata “keluar sebentar” dengan raut mukanya yang datar.

Nggak ada akhlak. Batinku.

Mahesa. Pria dengan tampilan amburadul ini lagi-lagi menatap ke arahku untuk memberi peringatan, pasalnya semua mahasiswa yang tadinya ikut mengantre di belakangku langsung keluar tanpa harus mendengarkan pitahnya untuk ke dua kali.

“lo nggak ngerti bahasa Indonesia? Budek?”

Sabar Naima. Orang waras ngalah.

Aku menghela nafas dengan kesal kemudian menatap ke arah Professor Arif, terlihat jelas rahangnya mengeras karena menahan malu. 

“Permisi” ucapku pada Professor Arif.

Di luar ruangan para mahasiswa yang tadinya ikut menunggu denganku kini sedang berdiri sambil mencuri-curi pandang ke ruangan yang dibatasi kaca bewarna gelap itu.

“Gue nggak pernah lihat cowok sekeren itu di Fakultas Pendidikan” celoteh Rini, teman sekelasku saat mengambil kelas Kimia Komputasi.

Bukannya menyatakan protes mereka malah menunjukkan kekaguman kepada manusia tidak ada akhlak itu. Barangkali ini yang dimaksud dengan privilege. Kalau saja yang mengusir mereka barusan adalah pria dengan tampang pas-pasan, sudah pasti mereka akan menunjukkan kekesalan sepertiku.

Mereka tidak berhenti menyaut tentang Mahesa.

“untung aja ganteng, kalau nggak ogah gue diusir”

What the food.

“penampilannya kayak anak teknik nggak sih?” Dini pun ikut bergabung di dalam percakapan.

“Itu anak Teknik Informatika yang pernah nonjok muka dekan fakultasnya”

“SE-RI-USS?!!”

***

Entah mengapa kali ini suara klakson kendaraan dari segala arah seolah mampu memekakkan telinga. Kebisingan Jakarta saat lampu rambu-rambu lalu lintas yang bewarna hijau menyala sungguh telah mencapai level pencemaran suara. Ditambah lagi suara musik dari angkot yang tepat berada di sebelah ojek online yang sedang aku tumpangi. Maka sempurna sudah alasanku berkali-kali menghela nafas dan melafaskan do’a agar segera sampai ke depan rumah.

Aku langsung melemparkan senyuman dan tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada bapak gojek yang baru saja menurunkan ku di depan minimarket yang dekat dengan rumah. Setelah melewati hari yang begitu melelahkan, aku merasa sangat perlu berbelanja beberapa jajanan micin dan karbohidrat terenak untuk memperbaiki mood ku.

Aku menyisirkan pandangan ke setiap sudut mini market. Pada bagian langit-langit ruangan masih tersisa berapa pretelan yang kontras dengan warna merah, menandakan bahwa tahun 2020 baru saja di mulai. Ya, baru di mulai, namun begitu banyak yang telah terjadi, mulai dari Trump yang mengakui perintahkan pembunuhan jenderal Qasem Soleimani, Iran melakukan serangan balik ke pangkalan pasukan Amerika di Irak, Kobe Bryant meninggal dunia, Indonesia dilanda banjir, masalah berkelanjutan seperti meningkatnya suhu di samudra pasifik, emisi besar karbondioksida akibat kebakaran besar yang terjadi di hutan Australia, hingga topik panas yang saat ini sering dibicarakan di media social “Sars Co-V 2”.

Bumi kita sedang tidak baik-baik saja, dan kitalah penyebabnya.

Pagi tadi terakhir kali aku membaca data statistik perkembangan corona virus di dunia, banyak negara yang sudah terinfeksi oleh virus tersebut seperti Thailand, Singapura, Prancis, dan Malaysia. Indonesia belum. Nggak akan. Nggak boleh. Wait, aku jelas tahu bagaimana keadaan Indonesia saat ini. Maksudku tentang kebijakan, pertahanan, serta sikap pererintah dan masyarakat yang sering kita baca di media sosial. Dibalik semua itu, tetap saja tidak ada salahnya jika terus berharap Indonesia tidak terinfeksi.

Aku belum belum lanjut S2

Aku belum jadi dosen

Aku belum nik-

“Lo mau berapa lama ngelamun di depan kulkasnya?”

Nafasku tertahan saat menemukan seseorang yang berdiri begitu dekat dari arah belakangku. Aish. lagi-lagi si preman.

“minggir” pitahnya.

Enak banget nyuruh-nyuruh, emang lo majikan?!!

Akupun ikutan menatapnya dengan penuh intimidasi, yaah walaupun setelah itu aku bergeser sesuai perintahnya. Jangan berfikir aku kalah! aku hanya malas berurusan dengan orang seperti preman ini. Buang-buang waktu.

Setelah selesai memilih jajanan serta beberapa keperluan bulanan. Aku kemudian menuju kasir untuk melakukan transaksi. Untungnya minimarket sekarang bisa melayani dengan debit, jadi aku tidak perlu repot-repot ke ATM untuk menarik uang tunai. Saat Cashier menghitung total belanjaan, aku langsung merogoh kantong tas dan mengeluarkan dompet bewarna merah maroon yang dulu diberikan oleh almarhum bunda sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 18.

Ngomong-ngomong tentang dompet, kalian tenang saja karena nggak akan ada adegan aku kehilangan dompet terus tiba-tiba Raja Monarki datang untuk melunasi semua belanjaanku. Terlalu klise.

Sebentar.

Sebentar.

Kartu debitku..............ketinggalan.

“semuanya Rp. 185.000 ya Mba.

Tenang

Tenang

“sebentar mba..” Aku mengacak isi dompet dan ranselku secara berulang-ulang.

Tenang Naima. Tenang. Lo punya saldo OPO Nai, tenang-tenang.

Syalalalala~ singing!!

Tenang~

“saya bayar pakai OPO ya mba?” Nggak diragukan lagi, kemajuan teknologi dalam bidang--

“mohon maaf mba, di sini tidak menerima transaksi via OPO” Jawab mba cashier dengan raut wajah yang mulai bosan.

Aku terdiam sejenak.

Tenang. Syalala---

“sekalian dengan punya saya saja” Tiba-tiba Raja Monarki eh si preman yang ternyata sedang mengantre di belakangku langsung menerobos ke depan sambil mengulurkan belanjaan dan kartu debitnya. Mba cashier yang selalu mengenakan seragam bewarna biru dongker ini langsung menghitung belanjaan si preman.

Rokok 

Susu Bearbrand

Susu stawberry

Susu Cokelat

Susu Cokelat

Susu rasa Pisang

Mie Sedapp Siwon

“Semuanya jadi Rp 260.500 mas. Mas Mahesa” Eh buset. Ramah bener.

Sementara aku masih saja terdiam di tempat sambil memperhatikan betapa ramahnya perlakuan mba cashier mini market ini ke si preman. Baiklah, karena dia sudah berbaik hati membayarkan belanjaanku, maka meskipun si preman ini berantakan, perokok, sering pulang shubuh, sering nongkrong di pos satpam kompleks, pernah nonjok dosen serta berbagai skandal lainnya, kali ini aku akan berbaik hati untuk mengucapkan—

“te....”

“sekalian ini mba” melewati tubuhku tangan Mahesa terulur meraih kotak kecil bewarna hitam yang tadinya bertengger di sebelah meja kasir. Itu adalah alat kontrasepsi.

Aku terhenyak.

Mba cashier juga terhenyak.

Kotak kecil hitamnya juga terhenyak.

Ckck. Sekali preman tetap preman. Nggak ada akhlak memang.

Sekarang raut wajah mba cashier yang tadinya sangat ramah langsung berubah jadi bete. Secepat kilat pandangan manusia bisa berubah karena satu perlakuan.

“Hhhhh..” mba cashier menghela nafas, lalu tersenyum semanis sakarin yang dua ratus kali lipat lebih manis dari gula biasa. Hebat sekali, ia bisa megubah ekspresi wajahnya secepat kilat. Bergumam sebentar, lalu ia berkata “semuanya jadi Rp. 280.000 yah mas Mahesa” ucapnya dan kembali tersenyum manis. Aku khawatir, barangkali ketika sampai rumah nanti si preman ini langsung terdiagnosa diabetes mellitus.


***


Thanks. Lo langsung pulang kan?”

“Nggak”

“Yaudah. Nanti malam aja gue ke rumah buat ganti duit lo”

Oh My God. May The God bless me. Fyi, aku sedang melangkah sejajar dengan si preman ini. Semoga Allah SWT melindungiku.

“ya” jawabnya singkat

“lo ngapain beli ko...” hampir saja aku keceplosan.

Si preman tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatap ke arahku lekat-lekat. Akupun secara refleks mundur selangkah dan memberikannya senyuman kecil untuk menghilangkan rasa canggung.

Dia menatapku dari ujung kaki hingga kepala.

He is being so impolite!!. Nggak ada akhlak.

“Naima Prameswari” Aku terhenyak, matanya menatapku dalam.

APA ??

APA ??

APA ??!!!!

“Ya? Gue bayar hutangnya nanti, santai aja gue professional. Ya kita memang nggak tahu banget satu sama lain. Tapi lo nggak pernah denger kan kalau tetangga seberang rumah lo ini pernah terjerat hutang? Lo boleh tanya sama tetangga sebelah kanan rumah atau kiri. Kayaknya bokap lo juga tahu kalau gue anaknya baik-baik. Gue nggak suka berhutang ataupun terikat pada sesuatu yang tidak baik. Sorry, maksud gue lo tahu kan kalau.....”

“gue nggak baik” potongnya.

“Bukan gitu!” Aduh aku harus ngomong apa? “Lo baiklah! Kan lo pernah menang lomba azan waktu kelas 4 SD” aku tersenyum “haahaa” kemudian tertawa. Namun dia tetap menatapku dengan ekspresi yang tidak berubah. Ya, datar.

“Sejak kapan menang lomba adzan jadi indikator penentu seseorang dikatakan baik atatu tidak?” tanyanya.

“sejak barusan gue bilang. Lo ikut lomba, artinya lo mau memperjuangkan diri untuk menjadi manusia yang lebih baik”

“Kalau gue ikut lomba pole dance gimana?”

“Ehhmm. Berarti lo baik dalam menekuni bakat”

“Kalau gue lomba wife carrying ?”

“YA LO HARUS CARI BINI DULU”

Lalu untuk pertama kalinya aku melihat bibirnya menyunggingkan senyuman. “Ok” katanya.

Ok.

Ok doang.

Ok.

Ok.

Baiklah.


***


“MAHESA! LAMA KALI!!”

Sorry deh bang! tadi ada kucing kelaparan di jalan”

Pernah dengar tentang hujan zenithal nggak?

Hujan orang meninggal?

Itu loh, hujan yang terjadi saat matahari sedang terik-teriknya. Hujan yang terjadi saat tidak ada tanda-tanda mendung, petir atau kilat. Orang Indonesia menyebutnya dengan hujan panas. Hujan ini sering dikaitkan dengan banyak mitos. Kalau di Indonesia mitosnya hujan ini terjadi karena langit sedang bersedih soalnya ada orang meninggal dengan mata terbuka, di India mitosnya hujan panas ini akan terjadi jika ada rubah atau serigala yang menikah, lain lagi mitos yang ada di Belanda katanya hujan zenithal terjadi jika di neraka sedang berlangsung perayaan pasar malam. Terlepas semua itu hanya mitos atau tidak, mengetahui hal tersebut membuatku terkikik sendiri. Kira-kira yang jaga loket pasar malam di neraka siapa ya?

Oh Wait, aku nggak bermaksud membahas mitos-mitos tentang hujan zenithal ini. Aku juga nggak bermaksud untuk membahas hujan zenithal berdasarkan sudut pandang sains.

Aku hanya ingin menginformasikan bahwa hujan yang tiba-tiba ini telah membuatku terjebak bersama si preman alias Mahesa di pos satpam.

Tenang Naima.. Rumah lo dekat dari sini. 

Tenang ya Naima cantik~ 

Hujan seperti ini biasanya hanya berlangsung beberapa menit.

Assalamu’alaikum cantik”

Sialnya ada preman lain di pos ini, Panji.

Alih alih menjawab salamnya secara langsung, aku hanya menatapnya sekilas.

“shombong amat!! menjawab salam itu hukumnya wajib lo manis ” celetuk Panji.

Tadi cantik, sekarang manis. Nggak konsisten lo!

Aku menghembuskan nafas berkali-kali saat tanpa sengaja mencium aroma alkohol dari tubuhnya.

“Nggak usah salam kalau niatnya hanya catcalling” jawabku

Panji tertawa, lalu berjalan mendekat ke arahku. Hampir saja aku dipeluknya jika tidak bergeser dengan cepat. Untungnya gerakan preventifku barusan tidak selemot sinetron Indonesia. Setelah adegan itu aku lihat si Panji langsung duduk terjongkok sambil menatap ke arah lantai tanpa mengucapkan apapun.

Merasa penasaran, Bang Riko si penjaga pos ini langsung langsung mengajukan pertanyaan “Ngapain kau jongkok di situ?”

“Sssttt..” Panji menempelkan telunjuknya ke depan bibir “Aku adalah debuuuu”

Gubrakkk

Suara tawaku pecah seketika, ternyata benar kalau orang mabuk tingkahnya bisa saja menjadi lucu. Beberapa waktu lalu aku pernah membaca beberapa kejadian lucu yang dilakukan orang-orang saat kehilangan kesadaran karena minuman atau makanan seperti jamur mashroom. Kali ini aku benar-benar tidak menyangka bisa melihat kebodohannya secara langsung.

“Receh sekali” Sela Mahesa disaat sisa-sisa tawaku masih terdengar, akupun menatapnya sengit “Dia dapat minuman dari mana Bang?” tanya Mahesa sebelum aku sempat mencemooh selera humornya yang nggak asik.

“Tadi waktu aku shalat dia buka tas kau Sa. Tidak pernah minum, sekalinya coba malah jadi begini dia”

Jawaban dari Bang Riko, lagi-lagi membuatku melayangkan pandangan ke arah Mahesa. Ckck, Memang nggak salah aku menyebutnya preman. Mahesa yang terlihat kesal langsung membopong Panji untuk masuk ke dalam pos dan merebahkan si pemabuk amatiran itu.

“Mana titipan aku Sa?” Tanya Bang Riko saat Mahesa kembali ke teras.

Mahesa langsung mengeluarkan satu kotak rokok dari kantong plastik yang dipegangnya. Setelah mengasingkan kotak rokok tersebut, ia kemudian memberikan semua yang ada di dalam kantong plastik bewarna putih itu kepada Bang Riko.

“Eh. Kenapa kau belikan susu Sa?. Mana cukup duit yang tadi” 

“Bukan untuk lo. Untuk anak-anak lo”
Ternyata si preman ini hatinya hello kitty.

“MAACI OM MAHECAA. HAHAHA, diantara semua teman hanya kau yang mau aku titipkan belanjaan seperti ini. Naima mau susu??”

Kalian perlu tahu, setelah mendengarkan pembicaraan mereka dan melihat tangan Bang Riko yang memegang plastik beserta seluruh isinya, kepalaku saat itu serasa dipukuli palu sebanyak ribuan kali. Jadi ternyata kotak kecil hitam tadi untuk Bang Riko.


***


And here we go...

Indonesia terinfeksi.

Beberapa minggu yang lalu pemerintah menghimbau masyarakat untuk menjaga jarak (physical distancing). Sayangnya Korban positif terus meningkat, bahkan peningkatannnya lebih cepat dibandingkan Malaysia yang nyatanya lebih dulu melaporkan pasien positif. Sekarang sudah hampir 3 minggu pemerintah memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang artinya hashtag dirumah aja semakin popular di seluruh media sosial. Maka sebagai warga negara yang baik serta menyangi nyawa, selama satu bulan terakhir aku akhirnya hanya bisa mendekam di rumah.

Langkah preventif yang sedang kita lakukan ini tentu membuat semua orang kelimpungan. Banyak usaha yang harus ditutup karena tidak mampu menggaji pegawainya, pedagang- pedagang kecil kehilangan pelanggan atau para karyawan yang kena PHK mendadak. Nggak semua masyarakat memiliki status sebagai karyawan tetap, bahkan kebanyakan dari masyarakat adalah pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang termasuk ke dalam kelompok berpengahasilan tidak tetap, Seperti halnya aku yang berjualan tanaman. Bukan main, biasanya setiap bulan aku mendapat pemasukan bersih sekitar delapan jutaan, sekarang penghasilan bersihku setelah dihitung-hitung dari laporan statistik akun jual beli online hanya menunjukkan setengah dari rata-rata pendapatan bulananku.

Aku tersenyum pasrah.

Lalu fikiranku singgah kepada nyawa-nyawa yang telah hilang, kepada mereka yang kehilangan orang-orang yang dicintai, para dokter yang harus bekerja dan mempertaruhkan nyawa, hingga mereka yang diapit rasa ketakutan mati karena kelaparan atau mati karena terinfeksi. Mati, siapa yang bisa menghindari?

Semua ini mengembalikanku kepada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Kita ketakutan pada makhluk yang jauh lebih kecil dari pada partikel koloid. Jelas sekali bahwa kita manusia adalah makhluk yang lemah, tidak ada tempat untuk berlindung kecuali hanya kepada-Nya.

Aku selalu yakin, besar atau kecilnya masalah tergantung bagaimana kita menyikapinya. Seperti teori jeruk nipis, saat membayangkan jeruk nipis maka air liur kita akan bergerak. Konsepnya adalah tubuh kita akan memberikan respon sesuai apa yang kita fikirkan. Kalau kita berfikir tidak bisa, maka tidak akan bisa.

Ayo semuanya, kita harus berfikir bisa!!!!!

Kita akan kuat jika terus bersama Tuhan. Bunda ku pernah bilang bahwa yang menjadi pembeda antara ujian dan azab adalah bagaimana kita bisa menjalankannya. Jika sesuatu itu tergolong azab, maka kita akan semakin jauh dari Tuhan. Lalu jika suatu kejadian tergolong ujian, maka kita akan semakin dekat dengan-Nya. Apa yang kita dapat dari semua ini? Versi diri kita yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Upgrade.

“Naima! sapu halaman depan!” Suara seorang wanita paruh baya tiba-tiba menghentikan lamunanku.

Aku tersenyum tipis sebelum akhirnya bangun dari posisi rebahan “iya Ma!!”

Ia, itu Mama bukan Bunda.

Ia Mama. Mama adalah istri pertama alm. Ayah. 


***


Sore itu aku sedang menyiram tanaman di depan rumah. Saat itu pula Mahesa tiba-tiba keluar rumah dengan mengenakan celana pendek dan atasan yang memperlihatkan tato-tato di lengan bagian atasnya. Bukan hal baru tentang gambar-gambar yang terukir dari rasa sakit dan luka itu, selama libur ini ada hal yang tidak biasanya aku temukan dari seberang rumah ku. Kegaduhan dengan frekuensi yang berbeda dari biasanya.

“UNTUK APA HIDUP KALAU HANYA MENYUSAHKAN ORANG!!” Teriak suara bariton di seberang sana. Tanpa melihat siapa orangnya, aku sudah tahu pasti itu adalah suara kakaknya Mahesa, Dhanu.

Setelah itulah Mahesa keluar dengan kedua tangannya yang terkepal menahan amarah. Hanya berlangsung beberapa saat hingga kemudian ia merasa kepalan tangan itu tidak lagi mampu meredam amarahnya, Mahesa berkali-kali melayangkan kepalan tangan kanannya ke arah pintu rumah yang tertutup rapat.

“BANGSAT!! BANGSAT!!” Teriaknya berkali-kali. Ada untungnya rumah mereka luas, akibatnya satu-satunya tetangga yang merasa dirugikan oleh kegaduhan yang mereka buat hanyalah aku yang kebetulan sedang berada di luar rumah.

Menjadi tetangga mereka dalam kurun waktu belasan tahun tidak membuatku mengenal keluarga itu secara utuh. Tidak ada interaksi yang intens antara kami, apalagi semenjak bundaku meninggal. Aku yang dulunya hanya sesekali mengikuti bunda berkunjung ke rumah keluarga Professor Arif, kini malah semakin jarang. Meskipun Professor Arif adalah Ayah Mahesa atau lebih tepatnya tetangga dekatku, aku tidak pernah memanfaatkan kedekatan itu dalam urusan perkuliahan. Bahkan terakhir kali aku mengunjungi rumah mereka adalah saat Hari Raya Idul Fitri, satu tahun lalu.

Gilanya adalah kali ini bukan Hari Raya Idul Fitri ataupun Idul Adha melainkan Pembatasan Sosial Berskala besar, kakiku malah melangkah begitu cepat menuju rumah yang didominasi warna putih itu. Mengabaikan tata krama, pagar rumah yang untungya dapat terjangkau oleh tubuhku langsung saja aku panjat tanpa peduli meminta penghuni rumah untuk repot-repot membukakannya, karenya nyatanya penghuni rumah ini sedang melakukan pertikaian satu sama lain.

“KAYAK BOCAH WOII. BERHENTI!!!”

Tidak ada yang peduli, tepat di depan kedua mataku Mahesa dan Kak Dhanu saling melayangkan pukulan bertubi-tubi. Aku sempat berfikir untuk mencari pertolongan ke dalam rumah, barangkali ada seseorang yang dapat membantuku melerai kedua manusia yang nggak ada akhlak ini. Namun aku membatalkan keinginan itu mengingat beberapa jam yang lalu Professor Arif telah pergi meninggalkan rumah.

Saat posisi Mahesa beralih menindih Kak Dhanu yang terkapar di lantai, aku langsung menarik tangan kirinya yang menggenggam kerah baju Kak Dhanu.

“Udah Mahesa”

“BANGSAT BANGASAT” Namun tetap saja perkataanku tidak diindahkan olehnya.

“ARRGGGGHHHH” Teriaknya untuk sekian kali sambil menepis kuat tanganku hingga akhirnya aku terjungkal ke belakang.

Tanganku meraba sudut bibir yang terasa perih. 

GILA!

Seharusnya aku sedang memberi nutrisi tanaman-tanaman aglonema milikkuku dan mengisi WFH dengan kegiatan berfaedah, bukannya terlibat pertikaian dengan preman ini.

Aku menangis.

“MAHESA!!!!!” teriakku dengan mata yang dihujani tangis “BIBIR GUE BERDARAH BEGO!” setelah itu barulah mereka berhenti.


***


“ngapain ke sini..”

Tentu saja Mahesa tidak sedang mengajukan pertanyaan kepadaku, raut wajahnya yang terlihat sangat gusar makin memperjelas anggapannya bahwa kedatanganku untuk melerai mereka berdua adalah keputusan yang sangat tidak tepat baginya.

“lihat pertunjukan buaya dan banteng” Entah bagaimana harus menghadapi makhluk aneh ini. Jelas aku berfikir sifatnya yang bertentangan dengan standar pria baik-baik yang dibuat masyarakat adalah akibat latar belakang keluarganya yang broken home. Sekarang Mahesa dan Kak Dhanu hanya tinggal bertiga dengan Professor Arif. Ditambah satu lagi seorang asisten rumah tangga yang saat ini aku pertanyakan keberadaannya ketika dua orang kakak beradik dengan kepribadian yang jauh berbeda ini sedang bertengkar.

“Bude Ida dima..... Awww PERIH!” keluhku langsung menepis tangannya yang sedang menggenggam kain untuk mengompres luka di sudut bibirku. Saat ia melakukan percobaan untuk kedua kalinya, aku lagi-lagi menepis tangannya.

“PERIH TAU” Lagian untuk apa juga dia mengobatiku sementara lukanya terlihat lebih parah.

Mahesa melempar kain yang tadi digenggamnya ke arah ku dengan geram “Kompres sendiri, kasih obat merah lalu tutup lukanya. Setelah itu keluar dari rumah ini” Dasar Mahesa sakit jiwa! Baiklah aku tidak peduli jika selain kalimat pengusiran itu tidak ada kata maaf ataupun terimakasih darinya. Aku sudah terlalu jauh untuk ikut campur hingga bahkan mengalami luka fisik, sangat disayangkan jika tidak mengetahui apa yang terjadi diantara keduanya. Rasanya rasa penasaranku saat ini berkali-kali lipat lebih besar daripada ketakutan berada di dalam ruangan yang sama dengan seorang pria yang sedang dalam tekanan batin. Langkahku teriring mengikuti Mahesa yang berjalan menuju sebuah kamar yang berada di lantai atas. Di dalamnya ada Kak Dhanu yang sedang mengobati luka di tangan kirinya, aku tidak ingat saat bertengkar tadi apakah mereka mengenakan benda tajam. Tapi pergelangan tangan kiri Kak Dhanu jelas dipenuhi luka goresan pisau.

“Maaf ya Naima. Lukamu sudah diobati?”

Aku terhenyak, ternyata tanpa perlu melihat ke arahku dan Mahesa yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya, Kak Dhanu sudah mengetahui ada orang yang sedang memperhatikannya.

“sudah”

“bohong”

Mahesa ikut menjawab sebelum kemudian dia duduk di kursi yang terletak di sebelah kasur yang ditimpa Kak Dhanu. Kilat mata mereka berdua saling bertemu, lucunya aku dapat melihat dengan jelas rasa kepedulian diantara keduanya. Lalu untuk apa mereka bertengkar tadi? Bahkan sekarang tanpa perlu klarifikasi mereka sudah terlihat baik-baik saja. Betapa kalian tidak akan menyangka keduanya saling menyebabkan luka dan menyembuhkan satu sama lain. Mungkin kalau tidak melihat adegan kekerasan sebelumya, aku bisa saja merasa iri dengan persaudaraan mereka. Pasalnya aku hanya memiliki seorang kakak tiri yang bahkan tidak memperdulikan nafasku masih berhembus atau tidak. Aku hidup dengan istri pertama Ayah yang masih menyimpan dendam kepada kedua orangtuaku yang telah tiada.

“Lo nonjok kuat banget, bangsat” keduanya tertawa hampa.

Sekarang aku tidak mengerti apakah semesta hanyalah sebatas candaan seperti yang sedang dua saudara ini perlihatkan kepadaku atau mungkin aku yang belum benar-benar memahami segala yang ditunjukkan semesta?

“Naima, sini biar diobati” Tawar Kak Dhanu padaku

Aku menggeleng pelan “Nggak usah kak. Aku mau pulang aja”

Makin lama di sini sistem imunku bisa lemah karena stress melihat kelakuan mereka. Aku harus tetap menjaga kesehatan untuk bertahan hidup ditengah kondisi pandemi ini. Aku bukan anak konglongmerat seperti mereka yang punya banyak waktu untuk bermain-main. Sambil menapaki langkah pada setiap anak tangga yang mengkilap ini aku malah tergelak sendiri. Jika dibandingkan dengan Mahesa sudah jelas keadaan ia jauh lebih sempurna dari padaku, rasanya benar-benar menyakitkan saat melihat manusia urakan seperti dia melakukan candaan seperti itu.

Saat kakiku akan melangkah menuju anak tangga yang terakhir, tiba-tiba tangan Mahesa terulur menahan langkahku sebelum akhirnya ia lebih dulu menginjakkan kaki dan berhenti di anak tangga yang hendak aku lewati.

“kenapa?” tanyaku tanpa basa-basi.

Alih-alih menjawab pertanyaanku secara verbal, ia lebih memilih untuk membuka bungkusan plaster di tangan kanannya dan kemudian menutupi luka di sudut bibirku. Seandainya semua spekulasiku tentang dia tidak muncul terlalu cepat, mungkin saat ini aku sedang menepis tangannya sekali lagi agar tetap melanjutkan perbincangan dengannya. Sayangnya sekarang aku sudah kehabisan energi untuk mewujudkan semua bayanganku.

Setelah menempelkan plester kecil itu, Mahesa kemudian mengusap lembut sudut bibirku “Maafin gue Nai” ucapnya terdengar tulus.

Kini akupun semakin jengah melihat tingkahnya. Seandainya aku tidak mempertimbangkan segala kemungkinan buruk yang terjadi jika terus berurusan dengannya, maka berbagai pertanyaan telah keluar dari mulutku “Maaf karena gue luka? Maaf karena kalian berdua ngerjain gue? Maaf karena kalian kekanak kanakan? Maaf karena lo tadi ngusir gue? Maaf karena lo bermain-main dengan hidup sementara gue sedang mati-matian mencari kehidupan? Maaf karena apa? Udahlah Mahesa memang dari awal keputusan gue nggak berurusan sama lo itu paling tepat” Sayangnya diantara semua kalimat itu yang keluar dari mulutku hanyalah “jangan diulangi”

Matanya berkaca “Gue ketakutan Nai...” ucapnya hampir terdengar berbisik “Setelah sekian lama, sekarang Dhanu cutting tangannya lagi” Suaranya bergetar

Aku menatapnya pias.

“Gue ketakutan” Akhirnya air matanya menetes “Tadi pagi kami dapat kabar dari keluarga mama, kalau mama  dinyatakan meninggal sebagai pasien positif”

“Mereka nggak pernah kasih kabar, gue pun nggak pernah bertanya tentang dia...”

“gue dan nyokap udah  cukup lama nggak saling bertemu...”

“Mereka bilang terlalu banyak orang, tidak akan diizinkan untuk melihat jenazah, sementara gue juga harus menjaga Dhanu biar nggak berbuat macam-macam”

“Gue ketakutan...” Mata yang tidak pernah berekspresi apa-apa kepadaku itu, kini sedang dibanjiri rasa sesal luar biasa. Nafasku sesak merasaan kehilangan yang sedang ia alami, teringat saat aku kehilangan Ayah dan Bunda karena kecelakaan pesawat secara bersamaan. Persis seperti Mahesa, aku tidak bisa mengantarkan jenazah orang tuaku ke peristirahatan terakhir mereka. Tanganku langsung terulur menggenggam kedua tangan milik Mahesa. Sekarang Nafasku malah semakin sesak berkali-kali lipat mengingat semua spekulasi yang sudah aku lemparkan bertubi-tubi kepadanya. Lihatlah Naima. Di balik semua spekulasi bodohku tentang dia, Mahesa sedang berdiri sambil menumpahkan semua rasa sakit yang ternyata selama ini ia sembunyikan.

“Gue ketakutan ngebayangin mama meninggal dengan rasa kecewa.. karena gue yang setiap saat selalu berbuat masalah supaya dia bisa datang. Sekarang, gue ataupun dia tidak ada yang bisa saling datang”

“ketakutan ngebayangin waktu yang gue habiskan dengan percuma tanpa memperdulikan dia… ngebayangin gue yang selalu menyalahkan dia karena harus berpisah dari papa”

“Ketakutan .... “

“Shhh” selaku

Aku memeluknya, teman kecilku. Walaupun aku tidak mungkin bisa memberinya rasa aman.

Komentar