Search

Hi! It's me Wana
Nice to see you..

I'm Wana. An INTP-T woman. I'm often thoroughly engaged in my own thoughts. I usually appear to others to be offbeat and unconventional. People may think i am a stereotypical “nerd” who may be shy or withdrawn around people i don’t know well. However, i become talkative and enthusiastic when i meet someone who shares my niche interests.

Review Buku A Cup of Tea Oleh Gita Savitri


Aku sempat berfikir ini review buku pertamaku. Setelah mengingat-ngingat ternyata  aku pernah menulis resensi subjektif tentang buku Demokrasi Kita – Moh Hatta beberapa tahun lalu.  Buku kedua ini Berjudul  A Cup of Tea oleh Gita Savitri. Awal mula aku mengetahui Gita Savitri dari Chanel Youtube pribadinya yang saat itu banyak membahas tentang kehidupan di Jerman. Semakin kesini yang membuat aku tertarik dari sosok Gita Savitri adalah pemikiran kritisnya yang sering membahas isu sosial seperti black matters, senioritas, body positivity, cancel culture, muslim ban, toleransi dalam islam, dll. Selain jadi Youtuber Gita Savitri juga aktif nulis di blogspot, sayangnya setelah pakai domain sendiri jadi lumayan jarang nulisnya hehe. Mungkin karena pekerjaan luarnya yang buanyak banget, setahuku untuk bisa memperpanjang visa dia juga berkerja kantoran sebagai Chemical Analyist dari perusahaan khusus produksi Make Up.

 BACOT alias B-uku  A- Cup O-f T-ea ini merupakan buku keduanya setelah Rentang Kisah yang sudah di filmkan (tersedia di Disney Hostar). Sebenarnya dari dulu aku pengen beli yang Rentang Kisah, tapi karena sudah di filmkan --walaupun di film lebih banyak dramanya-- aku memutuskan untuk membeli buku keduanya aja. Buku A Cup of Tea dan Rentang kisah ini bukan series yang berkelanjutan, jadi nggak masalah kalau mau beli salah satunya. 

Judul         : A Cup of Tea

Editor        : Ry Azzura

Penerbit     : Gagas Media

Harga         : Rp. 70.000

 

 
 
BLURB

"Mulut lo nggak sesusai sama jilbab lo."
"Sekolah di Jerman tapi akhlaknya nol."
"Bad influencer! Di mana manner lo?!"
.....
Kita nggak butuh pisau untuk membunuh seseorang. Kata-kata yang ditujukan ke gue itu tentu bikin gue down. Semuanya ingin gue hilangkan dari ingatan, tapi nggak pernah berhasil. Nggak mengacuhkan omongan orang lain ternyata nggak mudah. Gue udah coba segala cara; self healing, curhat ke teman, curhat ke psikolog, semuanya. Namun, sampai sekarang kejadian itu masih terasa fresh di otak, seakan-akan baru kemarin menimpa gue.

COVER

Untuk cover karena judulnya A Cup Of Tea jadi nuansanya estetik dan bewarna cokelat. Karena judulnya ngingetin aku ke salah satu akun di twitter yang sering nawarin teh, like “Tea, anyone?” maksudnya dia lagi nanya “kamu mau denger gossip nggak?” jadi aku sempat berfikir buku ini nggak akan bersifat personal. Judul A Cup Of Tea diambil dari nama blog pribadinya Gita, tapi tenang aja buku ini nggak berisi postingan blognya yang barangkali sudah kalian baca sebelumnya. Di bawah judul buku ada kutipan “mencari untuk menemukan” mewakili isi fikiran si penulis yang mencari jati dirinya sendiri.

“Lewat buku ini gue berharap kita mendapat kekuatan untuk terus jalan dan mencari untuk menemukan”


ISI BUKU

Pada isi buku membahas secara acak hal-hal yang berkaitan dengan perjalanannya untuk mencari jati diri. Seperti pada Bab Keinginan, ia membahas tentang  latar belakang dan tujuan hidupnya. Untuk orang-orang yang menginjak usia 20th ke atas akan sangat mudah relate dengan tulisannya. Dari awal Gita menegaskan bahwa ia seseorang yang berlatar belakang medioker merasa nggak punya passion, ambisi, nggak tahu mau ngapain, dan nggak punya cita-cita. 

Menurutku di dalam buku keduanya ini, Gita menuliskan banyak hal mengenai self improvement seperti mengingatkan kita untuk menyadari pentingnya keinginan, keseimbangan, mendengarkan dan menghargai perbedaan. Pada buku ini dia juga menulis tentang cyber bullying yang dialami banyak public figure termasuk ia sendiri. Selain itu, dia juga membahas tentang perpisahan, perjalanan–perjalanan yang mengubah diri, kehidupan setelah pernikahan, hingga kebahagiaan yang ia cari.

Satu hal yang selalu paling berkesan setelah membaca tulisan Gita adalah pelajaran-pelajaran yang diberikan dari pemikiran kritisnya terhadap lingkungan sosial. Ia sering membahas isu-isu sosial yang sering kali dianggap “biasa” oleh masyarakat dan menyadarkan kita pada hal-hal buruk yang kita anggap sepele. Buku ini juga melampirkan beberapa fakta tentang negara-negara yang pernah ia kunjungi dan bagaimana perjalanan serta pertemuan memberikannya banyak pelajaran.

Lewat buku ini Gita berharap pembaca akan mendapat kekuatan untuk terus berjalan, jangan menyerah, dan belajar dalam setiap kesempatan agar kita bisa menemukan.

"We are a fighter. Don't let other people say otherwise."

Kebetulan banget aku baca buku ini saat lagi down, aku selesaikan semalaman dan fortunetly saat itu aku ngerasa lebih baik. Membaca buku ini membuatku ngerasa tidak sendirian.

GAYA BAHASA

Pada pemilihan kata, Gita menulis dengan bahasa yang ringan dan sangat mudah dipahami. Tidak jauh berbeda dari gaya bahasa yang ia gunakan dari Blog pribadinya www.gitasav.com  Aku sering baca tulisan Fiksi dan Nonfiksi dengan gaya penulisan “Loe - Gue”. Beberapa darinya terasa lumayan aneh dibaca, namun untuk tulisan Gita nggak sama sekali. Membaca bukunya seperti sarapan nasi goreng dikala perut lagi keroncongan, harus dihabiskan saat itu juga! Terasa nyaman dan nggak ada esensi cringe-nya. Penulisannya yang cukup personal membuatku serasa berhadapan dengan teman yang lagi curhat tentang kehidupan. Yah, buku ini seperti blog Gita versi media cetak. 

PENULISAN

Penulisan buku ini menggunakan font berukuran sedang yang nyaman untuk dibaca. Typo hanya sedikit. Selain itu mata kita juga dimanjakan oleh visual tempat-tempat yang pernah dikunjungi Gita.

BEBERAPA KUTIPAN

“I just needed them to affirm that it’s okay for me to feel the way I felt. It’s okay for me to feel the way I felt. It’s okay for me devastated and I wasn’t being overly dramatic. I need that validation”

“Ucapan adalah do’a. if you keep thinking about your dream it will happen someday, somehow”

“Setelah kehilangan beberapa orang terdekat dalam waktu berdekatan, gue jadi sering membayangkan apa yang terjadi kepada gue kalau gue ditinggal salah satu orangtua gue, ya. Suatu pikiran yang sebenarnya selama ini nggak pernah terlintas. Apakah gue masih bisa mencoba rasional seperti biasanya?”

“because I realized I talked too much about my self but hardly listened to the person I was talking to” 

RATING : 4.3/5

Komentar