Search

Hi! It's me Wana
Nice to see you..

I'm Wana. An INTP-T woman. I'm often thoroughly engaged in my own thoughts. I usually appear to others to be offbeat and unconventional. People may think i am a stereotypical “nerd” who may be shy or withdrawn around people i don’t know well. However, i become talkative and enthusiastic when i meet someone who shares my niche interests.

Pilihanku



*Agar manusia khususnya kaum perempuan sadar bahwa realitas tidak seindah ekspektasi*

Pernikahanku sempurna. Layaknya mimpi yang diidam-idamkan remaja lelah yang berakhir menjadi pengamat tetap di social media.  Haha, kadang aku berfikir barangkali kehidupan masa kecil mereka terlalu banyak diamunisi kisah putri miskin dan pangeran kaya raya. Hingga kemudian saat terjebak pada kerasnya kewajiban masa remaja, kebanyakan mereka bermimpi untuk bertemu pangeran berkuda putih dari negeri antah berantah.

Pernikahanku sempurna. Dari balik layar kaca jendela social media, kamu akan menemukan puluhan fotoku bersama seorang lelaki tampan turunan keluarga kaya raya. Ia anak konglongmerat, hebatnya bukan seseorang yang memiliki ketergantungan dengan keberadaan keluarganya. Meski lahir dari keluarga terpandang, semenjak usia 20 tahunan ia sudah dinyatakan mandiri secara finansisal.

Jika kalian bertanya-tanya dari mana aku dan dia bisa saling mengenal, aku berfikir sedikit banyak zamanku kini masih tekontaminasi cerita klise novel dari Minangkabau, Kasih Tak Sampai yang ditokohi oleh Siti Nur Baya. Yah, perjodohan. Namun perbedaanya, dalam kisah hidupku tidak ada Samsul Bahri sang kekasih lemah lembut dan gagah berani. Keluarga kami tidak pula dililit permasalahan hutang yang akhirnya memaksaku untuk menikahi Datuk Maringgih si lelaki kikir yang suka berpoligami.

Salah satu alasan mengapa aku berakhir dijodohkan adalah faktor usia. Keluargaku cukup konservatif dalam memandang kehidupan. Ibu berfikir diusia 25 tahun, semestinya aku telah menikah dengan seorang lelaki yang memiliki sikap baik dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Sementara Ayah memiliki harapaan besar tentang kepribadianku yang tomboy dan kekanakan, harapannya suatu saat karakterku akan berubah jika telah hidup berumah tangga. Begitu pula keluarga dari pihak suamiku, satu-satunya alasan mereka menginginkan anak semata wayang itu menikah hanyalah perihal usianya yang telah menginjak 33 tahun. Entah sejak kapan perkara usia menjadi penentu seseorang diwajibkan untuk menikah. Setahuku dewasa atau tidaknya seseorang tidak melulu tentang usia.  

Sama halnya saat aku berakhir memilih jurusan “teknik informatika” di salah satu universitas negeri Yogyakarta, kebanyakan  semua hal dalam kehidupanku hanya bermodalkan “pilihan orang tua”. Aku tentu telah memprediksi tentang pernikahan ini sebelumnya, hanya saja tidak menyangka semua akan terjadi secara tiba-tiba. Kejadiannya berdekatan saat aku mendapat panggilan kerja dari luar daerah yang tentunya ditolak ibuku mentah-mentah, karena menurutnya aku sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Seminggu setalahnya ia memperkenalkanku kepada Mas Dipta, suamiku.

Semakin dewasa aku menyadari tidak pernah mudah untukku membuat keputusan. Terakhir kali aku memutuskan hal besar secara mandiri adalah perihal desain gaun pengantin yang aku kenakan di pesta pernikahanku. Alih-alih mendengarkan do’a dan ucapan selamat menempuh hidup baru, kebanyakan dari keluargaku malah berkomentar tentang gaun yang terlihat sangat sederhana. Termasuk pula ibu yang tidak henti-hentinya berkata “Makanya dengerin omongan ibu”

“Emang jelek banget ya mas?” tanyaku pada Mas Dipta.

Ia tersenyum sebelum akhirnya menunduk dan mengusap kepalaku dengan lembut “Istriku cantik banget, mata mereka aja yang soek” bisiknya membuatku memberenggut.

“Kalau itu aku tahu! Maksudku gaun ini!!”

Ia malah terkikik “Pilihan kamu bagus sayang. Semua tentang persepsi, nggak akan tenang kalau kita selalu mendengarkan komentar orang” balasnya. Tentu saja kalimat seperti itu sudah terlalu sering aku dengar, namun entah mengapa terasa berbeda jika Mas Dipta yang menyampaikan. Ditambah lagi lesung pipi yang selalu ia pamerkan setelah mengakhiri obrolan.

Segala hal terasa menyenangkan. Semenjak mengenal Mas Dipta aku mulai belajar tentang mengambil keputusan. Ia tidak pernah menjatuhkan pilihanku. Saat aku memutuskan untuk berjualan tanaman, alih-alih merendahkan seperti kebanyakan orang ia malah sangat mendukungku hingga bahkan membangun rumah kaca di halaman rumah. Tidak hanya itu, aku bahkan dibimbing ilmu bisnisnya secara cuma-cuma. Setelah dua tahun berjalan, bisnis tanamanku sangat dikenal di berbagai daerah. Aku bahkan sudah mengembangkan situs website khusus sharing dan jual beli tanamanku.

Pilihanku tidak selalu benar. Disaat aku merasa lelah tentang hiruk-pikuk dunia, Mas Dipta selalu mengingatkaku untuk membentang sajadah dan mendekat kepada Sang Pencipta. Hampir setiap hari ia membangunkanku di waktu sepertiga malam. Saat itu pula aku mendengarkan merdunya lantunan Ayat Suci Al-Qur’an yang ia bawakan dalam khusyuk shalatnya.

Mas Dipta, suamiku itu hidup dengan teratur. Ia selalu tidur sebelum jam sebelas malam dan bangun sebelum shubuh untuk tahajjud. Setelah shalat shubuh ia akan menghabiskan waktu untuk berolahraga selama 45 menit. Sebelum berangkat kerja Mas Dipta selalu duduk di ruang makan sambil membaca artikel-artikel yang berkaitan dengan bisnis Real Estate-nya. Di depannya selalu ku hidangkan makanan sehat rendah kalori seperti overnight oats. Jika bosan ia minta dibuatkan smoothie bowl dengan taburan granola kesukaannya. Mas Dipta menyukai kopi, namun berbeda dengan Ayah yang selalu minum kopi disaat perutnya kosong Mas Dipta akan minum kopinya pada waktu coffe break, antara jam 9.30 s.d 11.30. Ada banyak alasan dibalik itu, salah satunya ia tidak mau meningkatkan kadar kortisol di dalam tubuh jika mengkonsumsi kopi di pagi hari.

Dibalik kedua mataku yang selalu memandangnya sempurna, tentu saja Mas Dipta adalah manusia. Kami bisa saling bersaing dalam memenangkan emosi. Pada waktu tertentu aku bisa menemukan sifat dan pandangan Mas Dipta yang tidak rasional tentang kehidupan. Kami tidak selalu berbicara dalam nada yang lemah lembut. Aku bisa saja berteriak kesal jika mendapatkan baju dan sepatunya berserakan. Ia pun bisa balik menatapku kesal jika menemukan keadaan ruangan kerjanya berbeda jauh dari terakhir kali ia tinggalkan.

Mas Dipta paling tidak bisa diganggu jika sedang berkutat dengan pekerjaannya. Suatu waktu setelah pulang dari kantor, tanpa berniat menatap ke arahku ia langsung menuju ke ruang kerjanya di rumah. Jika sudah seperti itu, biasanya Mas Dipta akan mengurung diri dalam ruang kerja hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Mengetahui bahwa hanya aku dan dia yang tinggal di rumah ini, membuat ku tersadar bahwa aku bisa saja menjadi pengganggu dalam urusannya. Pernah sesekali ia tanpa sengaja membiarkanku menunggu hingga terlelap di ruang tengah. Jika tersadar ia akan sangat merasa bersalah dan bergegas menggendongku ke kamar atas.

Kata orang-orang di luar sana pernikahan kami sempurna. Setiap kali aku mengunggah foto bersama Mas Dipta di social media, kebanyakan orang akan meninggalkan komentar yang beragam. Pengirimnya bisa jadi dari orang terdekat hingga bahkan orang-orang yang tidak ku kenal sama sekali. Semenjak menikah dengan Mas Dipta ada begitu banyak hal yang aku dapatkan. Pelajaran-pelajaran yang mungkin saja tidak akan aku temukan jika masih hidup melajang. Bersama Mas Dipta aku perlahan mulai mandiri. Tidak hanya sepihak, ia dan aku selalu berdiskusi tentang keputusan dalam rumah tangga. Sering juga ia memberikanku dua pilihan penuh. Seperti sekarang, ia menyuruhku memilih untuk mengizinkannya menikah lagi atau mengakhiri pernikahan kami.

“kenapa?” tanyaku lirih.

Ia hanya menggeleng kecil “Selama ini Mas merasa tidak mendapatkan apa-apa darimu”.

 

Komentar

  1. Whaat ?? 😲
    Endingnya, i can't believe that..
    Ending yg tak bisa ditebak, sungguh di luar rel ekspektasi.

    BalasHapus

Posting Komentar