Search

Hi! It's me Wana
Nice to see you..

I'm Wana. An INTP-T woman. I'm often thoroughly engaged in my own thoughts. I usually appear to others to be offbeat and unconventional. People may think i am a stereotypical “nerd” who may be shy or withdrawn around people i don’t know well. However, i become talkative and enthusiastic when i meet someone who shares my niche interests.

Ngomongin Orang Lain

Sejak peradaban nenek moyang kita dahulu, menyampaikan fakta dan opini buruk tentang orang lain adalah hal yang sangat biasa dilakukan. Setiap orang tahu, namun terkadang lupa bahwa sebelum berbicara semestinya mempertimbangkan apa yang perlu dan tidak perlu diucapkan. Lebih parahnya lagi saat orang tersebut dengan sengaja menyakiti lawan bicaranya dengan menyampaikan hal-hal yang tidak perlu disampaikan.

Fenomena buruk yang nyatanya sering kita temukan di lingkungan sekitar hingga merambah ke media sosial ini bukanlah hal yang bisa kita anggap sangat wajar.  

Di dalam Al-Qur’an surah Al Hujurat Ayat 12 ALLAH SWT memperingati hambanya:

"Janganlah kalian menggunjingkan satu sama lain. Apakah salah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Tawwab (Maha Penerima taubat) lagi Rahim (Maha Menyampaikan rahmat).” [QS Al Hujurat: 12]

Selain itu terdapat juga beberapa hadits dari Rasulullah SAW yang membahas tentang meceritakan keburukan orang lain, salah satunya adalah:

“Ketika saya dimi’rajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya: “Siapakah mereka ini wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka.” [HR Abu Daud (4878). Hadits shahih]

Surah dan hadits tersebut memperingatkan kita agar tidak membicarakan keburukan orang lain. Sayangnya nih, seringkali pada saat kita mencoba untuk menghentikan seseorang yang sedang ngomongin orang lain, kebanyakan dari mereka malah beralih mengatakan “Lah kan aku ngomong kenyataan?”  sebagai pembelaan as if there’s nothing wrong about what they have done.

Sejujurnya aku pernah seperti itu. Mengingat apa yang pernah aku lakukan, rasanya aku ingin menemui diriku di masa lalu dan berkata:

"Yah Wana. Kamu berbicara kenyataan, tapi kamu tidak tahu apa dampak dari ucapanmu itu kan? Ucapkanlah sesuatu yang berkualitas, bukannya menjatuhkan kualitasmu dengan ucapan sendiri"

Ada hal lucu yang aku ingat saat  berada di sekolah menengah pertama dulu. Aku menemukan bahwa saat itu aku adalah tipe anak yang tidak mudah terhubung dengan pembicaraan orang lain. Penyebabnya adalah aku tidak suka mengobservasi kehidupan orang, selain itu aku juga tidak memiliki hal atau cerita yang barangkali disukai teman-temanku. Pada suatu waktu aku sedang berkunjung ke rumah tetangga, di pertengahan obrolan tiba-tiba ia menceritakan aib salah seorang senior di sekolahku. Setelah mendengar ceritanya, aku berfikir barangkali ceritanya bisa membuat teman-temanku tertawa. Akhirnya setelah berbagai macam pertimbangan dan mengesampingkan rasa tidak enak di dalam hati, aku memutuskan untuk menceritakan aib senior tersebut kepada teman-teman di sekolah. Alhasil mereka tertawa dan mengatakan “gila juga si Wana” dan bodohnya adalahtook it as a compliment, like “finally! They're laughing at my joke” seolah-olah aku telah menyampaikan informasi yang sangat penting. Huhu. 

Sekarang aja nih aku baru sadar kalau being informative isn’t always good!. Mending  kalau infomasi yang disampaikan itu berguna. Ini loh ngomongin orang lain, untuk apa toh?. Kita nggak akan tiba-tiba jadi paling pinter setelah menyampaikan keburukan orang  kan?

Anyway. I am not gonna say that my best friends were the reason why I end up gossiping my senior in that time ya, I love them though. Aku juga tidak bermaksud mengatakan bahwa teman-temanku adalah tipe yang sering menceritakan keburukan orang lain. Memang pada saat itu ada waktu tertentu dimana aku menemukan teman-temanku sedang  bergossip. Mereka semua adalah teman-teman yang sangat baik. Akulah yang  salah kaprah tentang cara agar bisa diterima di lingkungan sosialku. Yang aku tahu untuk bisa bergabung pada kelompok tertentu, pastinya kita harus mempunyai ketertarikan atau visi misi yang sama. Kebodohanku saat itu adalah  mencoba mengakrabkan diri pada mereka dengan cara menjadi  informatif tentang kehidupan orang lain. Padahal pada kenyataannya, ada banyak hal penting yang bisa diperbincangkan dengan mereka selain bergossip. 

Berdasarkan pengalamanku ini, aku jadi  menyimpulkan dua dari banyak hal yang menyebabkan seseorang berujung menceritakan keburukan orang lain  : (1) Karena dia tidak punya bahan menarik yang bisa diceritakan (2) Dia mencoba melakukan pendekatan dengan orang lain dengan cara bergossip

Dipersatukan karena gossip.

Berbicara tentang gossip, aku jadi ingat buku Sapiens – The Brief History of Humankind dari Yuval Noah Harari yang menceritakan berbagai terobosan tentang penciptaan dan evolusi manusia. Di dalam bukunya dia mengklaim bahwa  gossip, based on judgments, began our rule of the planet. Sebelum para Homo Sapiens memulai bergossip, mereka adalah bagian dari rantai makanan dari mamalia-mamalia lain. Such as gossiping empowered us to bond with socially, menjalin pertemanan hingga kini hirarki homo sapiens bisa turun mencapai manusia modern. Sebenarnya inti utamanya adalah “Social cooperation” yang menjadi kunci untuk setiap homo sapiens bisa survive dan bereproduksi. 

Gimana pendapatmu?

Mungkin salah satu hal yang membuat kelompok  tertentu kompak yah kenyataan kalau mereka memiliki pemikiran yang sefrekuensi. Selain menilai cara pandang hidup, bisa jadi pertemanan dimulai dari gossip. Jika Yuval Noah bisa menuliskan teori bahwa Homo Sapiens dulunya dapat bertahan melawan makhluk purba lain karena gossip.  Maka aku juga ingin  menuliskan bahwa Homo Sapiens sekarang saling menjatuhkan dengan cara bergossip. Kita memang tidak tahu kemana dan bagaimana hubungan pertemanan akan berlanjut, untung-untung ke arah yang positif. Namun tetap saja, memulai dari bergossip adalah awal yang negatif. 

Selain itu, menurutku karena bersifat intimidasi gossiping bisa saja disebut bagian dari bullying. Barang kali beberapa dari kita sering mendengar celaan-celaan seperti:

“Gendut ih“

“Kurus banget”

“Jerawatnya ih”

“Asli kak, nggak beres dia ngurusin lakinya!!”

“Lihat tuh tetangga sebelah, sengak kali gayanya sok-sok sepedaan tiap hari” 

Atau ucapan-ucapan nggak berguna lainnya.

Tanpa mereka peduli tentang kesehatan mental orang-orang yang mereka cela. Tanpa mereka peduli si penerima celaan bisa saja sakit hati, kehilangan kepercayaan diri, membenci dirinya sendiri, menyalahkan orang-orang terdekatnya, bahkan membenci Penciptanya karena perkataan yang mereka ucapkan. 

Mungkin mereka lupa, kita manusia  bukanlah porselen yang akan tetap terpajang indah meski orang-orang mencacinya habis-habisan. Melihat betapa banyaknya orang-orang yang bunuh diri karena menerima cyber bullying, aku  rasa hal tersebut sudah cukup  menjelaskan bahwa menjadi pembunuh  tidak usah repot-repot pakai senjata tajam.

Kebanyakan orang dan aku sendiri pernah berbicara tanpa berfikir tentang akibatnya. Orang-orang tidak akan peduli apa yang terjadi dibelakang kita, mereka hanya akan menilai apa yang terlihat oleh kedua matanya. 

Orang-orang tidak peduli ketika dulu mereka mengolokku "anak tukang bakso", telah membuat aku mempermasalahkan hal yang awalnya tidak pernah menjadi masalah dalam hidupku. Mereka tidak peduli saat aku yang masih menginjak sekolah dasar bertanya-tanya kenapa Bapak tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri? Mereka tidak peduli setiap harinya Ibu ngabisin waktu di dapur dari pagi sampai sore untuk menyiapkan dagangan yang akan dibawa Bapak keluar kampung. Mereka tidak peduli gimana rasanya melihat Bapak pulang malam dengan basah kuyub sambil membawa gerobak dagangannya. Mereka tidak  peduli candaan bodoh yang membuat mereka tersenyum puas saat memanggil aku "bakso" juga pernah membuatku malu dengan profesi orangtua yang telah berjuang mati-matian untuk menafkahi anak-anaknya.

Padahal selagi halal, tidak ada yang salah dari suatu pekerjaan. Permasalahannya hanya pada mereka yang terlalu mengagung-agungkan idealisme yang mereka anut sehingga memandang rendah nilai yang tidak sesuai dengan mereka. Pada kenyataannya pekerjaan kedua orangtuaku dulu bisa membuat perut manusia tertawa karena kenikmatan. Aku sangat bangga dengan kedua orangtuaku.

Manusia!!

Think before you speak

Is it true?

Is it helpful?

Is it inspiring?

Is it necessary?

Is it kind?

Dibalik meruginya orang lain terhadap apa yang kita ucapkan, memangnya apa sih untungya berkomentar tentang kehidupan orang lain? Lain halnya kalau  komentar yang kita sampaikan itu bersifat membangun. Saat menyampaikan nasehat kepada orang terdekat pun mesti ada tata krama yang harus dipenuhi. Aku nggak bisa ngebayangin betapa kurang kerjaannya manusia yang suka ngomongin  kehidupan orang lain.

 

 

Komentar

Posting Komentar